Sunday, July 3, 2011

Kesederhanaan

Kesedarhanaan

Pada suatu kesempatan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menunaikan solat Jum’aat di masjid bersama masyarakat dengan baju yang bertampal di sana-sini. Salah seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengurniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa engkau tidak mahu mempergunakannya walau sekadar berpakaian bagus?” Umar bin Abdul Aziz tertunduk sejenak, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana yang paling baik adalah pada saat kita kaya, dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi kuat.”

Pada Tahun 1986, sewaktu berada di SMA 13, ada seorang teman sekelas dari kalangan orang berada beberapa kali mengenakan pakaian seragam sekolah dengan satu atau dua tampalan di bahagian bahu dan lengan. Beberapa teman lain, sering mengingatkannya agar mengganti seragamnya dengan yang baru. Tapi, sambil tersenyum, teman itu berkata, ”Tanggung ah, sebentar lagi juga lulus!”

Meskipun mengenakan pakaian bertampal, teman saya ini tidak merasa malu, risih, atau rendah diri. Dan teman-teman yang lain pun tidak memandang rendah atau menganggapnya miskin, karana memang dia bukan orang miskin. Ketika sebahagian besar siswa lainnya berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, atau naik kendaraan umum, Dia datang dengan motorsikal. Pada waktu itu, hanya beberapa siswa saja yang ke sekolah dengan motor. Belum ada yang membawa kereta seperti anak SMA sekarang.

Ceritanya, mungkin, akan lain bila yang mengenakan seragam bertampal itu adalah saya, yang alhamdulillah, berasal dari keluarga sederhana. Barangkali teman-teman lain tidak ada yang berani mengingatkan saya agar membeli seragam baru. Dan mungkin juga teman-teman memaklumi saya, jika waktu itu saya mengenakan seragam bertampal. Dan saya pun, mungkin, akan merasa malu, risih, atau rendah diri.

Maka benarlah, nasihat Khalifah Umar bin Abdul Aziz di atas. Bahawa gaya hidup sederhana yang ditampilkan orang kaya, sedikit pun tidak akan membuatnya rendah atau hina. Orang-orang pun tidak akan mencaciya. Bahkan sebaliknya, boleh jadi orang lain kagum melihat gaya hidup sederhana orang kaya tersebut. Seperti komentar raja Romawi terhadap perilaku sederhana Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Ketika mendengar khabar Umar bin Abdul Aziz wafat, Kaisar Romawi yang paling sengit memusuhi Islam pada waktu itu berkata, ”Aku tidak hairan bila melihat seorang rahib yang menjauhi dunia dan melulu beribadah. Tapi, aku betul-betul hairan ketika melihat seorang raja yang memiliki kekayaan begitu besar, lalu dibuangnya jauh-jauh, sehingga ia hanya berjalan kaki dan lebih memilih kehidupan seperti layaknya fakir miskin.”

Umar bin Abdul Aziz adalah cermin yang tidak pernah pudar. Sejarah hidupnya abadi, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang sentiasa mendambakan kemudahan ketika dihisab di yaumil akhir kelak. Kedudukan, kekuasaan, dan kekayaan yang ada di tangannya tidak membuat dirinya berpenampilan mewah, meskipun pegawai-pegawai lain yang merupakan orang bawahannya banyak yang berpenampilan mewah. Tidak sedikit pun ada di benak Khalifah Umar bin Abdul Aziz kebimbangan kalau-kalau rakyat, para pegawai, atau kepala negara lain meremehkannya atau menganggapnya hina lantaran berpenampilan sederhana.

Kedudukan dan kekayaan pasti akan memperlambat hisab pada hari dimana semua manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Pengadilan Allah SWT. Pengadilan Allah SWT. sangat berbeza dengan pengadilan manusia di dunia. Di pengadilan dunia masih sering terjadi bias dan kekeliruan, sehingga seseorang dapat lepas dari jerat hukum. Sementara di pengadilan akhirat, tidak seorang pun yang boleh terlepas dari hukum Allah SWT.

Bukti-bukti yang ditampilkan di pengadilan dunia juga kurang detail dan tidak terperinci, sehingga seseorang dapat berdalih, dan menghilangkan barang bukti. Sebaliknya, di pengadilan akhirat semua perilaku manusia dibentangkan, seperti player VCD yang sedang menampilkan semua rakaman sepak terajang manusia selama hidup di dunia. Kalau di pengadilan dunia, dengan rasuah pesalah boleh terlepas daripada kesalahan, maka di pengadilan akhirat istilah rasuah itu tidak berlaku. Semuanya ditampilkan secara detail dan terperinci.

”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, nescaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, nescaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (QS Al-Zalzalah: 7-8).

Pada sebuah pengajian di Pondok Gede, seorang ustaz mengungkapkan kebimbangannya melihat penampilan sebahagian kader dakwah yang mengarah kepada – menurut istilah beliau – gaya hidup Qarunisme. Ustaz tersebut mengungkapkan beberapa gejala tanaafus bii al-maal (berlumba-lumba mengumpulkan harta), seperti semangat memiliki rumah baru, kereta baru yang tidak cuma mempertimbangkan fungsinya, handphone canggih meskipun pemanfaatannya tidak optimal, pakaian berjenama, menginap dari hotel ke hotel, dan lain-lain.

Beberapa di antara mereka, mulai berusaha mendapatkan projek dengan memanfaatkan akses politiknya. Alasan mereka, ”Daripada projek itu diambil oleh para petualang politik, lebih baik projek itu diberikan kepada kader dakwah. Pasti akan lebih bermanfaat.”

Si ustaz pun menambah, sebahagian di antara mereka, terutamanya pihak berkuasa daerah-daerah, ada juga yang menerima suapan yang semestinya ditolak. Mereka beralasan, ”Daripada ditolak dan nantinya digunakan oleh orang lain untuk foya-foya atau hura-hura, lebih baik diterima dan digunakan untuk kepentingan masyarakat atau untuk dakwah. Bahkan ada pemimpin di daerah yang ketika ditegur mengapa menerima suapan, ia menjawab, lupa” Di akhir ceramahnya, sang ustaz mengingatkan kepada para jamaah agar tidak malu hidup dalam kemiskinan atau kesederhanaan. Beliau lalu menerapkan cara hidup sederhana. Sekadar mengingatkan, jikalau dahulu dalam setiap majlis-majlis pertemuan, para ikhwah atau akhawat selalu membawa Al-Qur`an di sakunya. Sekarang Al-Qur`an sering tertinggal di rumah, meski memang dengan perkembangan teknologi, kini Al-Qur`an sudah boleh masuk dalam hand set. Dulu, sebahagian besar ikhwah mahupun akhawat kerap memanfaatkan waktu rehatnya dengan membaca dan menghafal Al-Qur`an. Sekarang sebahagian ikhwah maupun akhawat sering terlihat sibuk menekan-nekan handphone-nya di saat-saat menunggu program bermula bahkan di saat program sedang berlangsung, masih ada yang asyik bermesej. Tulisan ini hanya sekadar untuk mengingatkan tentang fitnah harta, jawatan, dan kekuasaan sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qur`an al-Karim dan Hadits Rasulullah Saw. Harta, jawatan, dan kekuasaan itu pasti akan menyibukkan seseorang dan memenuhi waktu dan fikirannya, sehingga akan mengurangi kekhusyu’an dalam beribadah kepada Allah SWT.

Alternatif Solusi Ibnu Qayim Rahimahullah dalam kitabnya ”Al-Fawaid” menjelaskan tentang liku-liku kehidupan dunia. Beliau menjelaskan bahawa setiap perbuatan manusia, selalu dimulai oleh lintasan-lintasan (khawatir) atau kebimbangan. Faktor inilah yang mengundang munculnya tashawur (gambaran). Dari sini kemudian muncul iradah (kemahuan) yang selanjutnya mendorong berlakunya perbuatan (’amal). Apabila perbuatan itu terjadi berulang kali, maka ia akan menjadi kebiasaan.

Oleh karena itu, Ibnu Qayim menegaskan, ”Lawanlah setiap lintasan buruk. Karana jika dibiarkan, ia akan berubah menjadi fikrah buruk. Singkirkanlah fikrah buruk itu, karana jika dibiarkan, ia akan berubah menjadi iradah atau ’azimah (tekad) yang buruk. Perangilah tekad yang buruk itu, karana kalau dibiarkan, ia akan berubah menjadi perbuatan buruk. Dan jika perbuatan buruk itu tidak dilawan, bahkan dilakukan secara berulang-ulang, maka ia akan berubah menjadi kebiasaan buruk. Bila perbuatan buruk itu sudah menjadi kebiasaan, maka kita akan sulit untuk meninggalkannya.”

Setiap tahap dalam perbuatan, iaitu khawatir-tashawur-iradah-’amal tidak akan meningkat ke tahap berikutnya sebelum mencapai kestabilan. Misalnya, khawatir tidak akan berubah menjadi tashawur sebelum khawatir itu mencapai kestabilan dan kematangan. Ketika seseorang berada pada level kestabilan dan kematangan baru, umumnya mereka tidak merasakan adanya perubahan yang signifikan pada dirinya. Ertinya, perubahan perilaku atau gaya hidup yang terjadi pada seseorang seringkali tidak atau kurang dirasakan oleh dirinya, akan tetapi orang lain melihat perubahan itu secara perlahan-lahan.

Oleh sebab itu, Khalifah Umar bin Khathtab keliling kampung untuk melihat secara langsung kehidupan rakyatnya. Tidak kurang pentingnya kepada para kader dakwah yang saat ini mendapatkan amanah dakwah di lingkungan elit untuk mencari ilmu tentang kader-kader dakwah. Atau sering bertanya kepada guru-guru yang mursyid supaya ditunjukan jalan yang sebenarnya. Mudah-mudahan kita tidak sombong dan bongkak setelah dikurniakan ilmu, harta, pangkat dan sebagainya. Semoga Allah kurniakan keredhaanNya kepada kita semua. Amin. Wallahu a’lam bishshawab.

No comments:

Post a Comment