Sunday, July 3, 2011

Indahnya Sabar

Indahnya Sabar

Ibrahim al-Khawwash rahimahullah berkata, “Hakikat kesabaran itu adalah teguh di atas al-Kitab dan as-Sunnah.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/7]). Ibnu ‘Atha’ rahimahullah berkata, “Sabar adalah menyikapi musibah dengan adab/cara yang baik.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/7]). Abu Ali ad-Daqqaq rahimahullah berkata, “Hakikat dari sabar yaitu tidak memprotes sesuatu yang sudah ditetapkan dalam takdir. Adapun menampakkan musibah yang menimpa selama bukan untuk berkeluh-kesah -kepada makhluk- maka hal itu tidak meniadakan kesabaran.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/7])

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Sabar secara bahasa artinya adalah menahan diri. Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya (yang artinya), ‘Sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang berdoa kepada Rabb mereka’. Maksudnya adalah tahanlah dirimu untuk tetap bersama mereka. Adapun di dalam istilah syari’at, sabar adalah: menahan diri di atas ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan untuk meninggalkan kedurhakaan/kemaksiatan kepada-Nya. …” (I’anat al-Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid [3/134] software Maktabah asy-Syamilah).

Macam-Macam Sabar.

al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Sabar yang dipuji ada beberapa macam: [1] sabar di atas ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla, [2] demikian pula sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla, [3] kemudian sabar dalam menanggung takdir yang terasa menyakitkan. Sabar dalam menjalankan ketaatan dan sabar dalam menjauhi perkara yang diharamkan itu lebih utama daripada sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan…” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 279)

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah memiliki hak untuk diibadahi oleh hamba di saat tertimpa musibah, sebagaimana ketika dia mendapatkan kenikmatan.” Beliau juga mengatakan, “Maka sabar adalah kewajiban yang selalu melekat kepadanya, dia tidak boleh keluar darinya untuk selama-lamanya. Sabar merupakan penyebab untuk meraih segala kesempurnaan.” (Fath al-Bari [11/344]).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan sabar dalam menjauhi kemaksiatan kepada-Nya, maka hal itu sudah jelas bagi setiap orang bahwasanya keduanya merupakan bagian dari keimanan. Bahkan, kedua hal itu merupakan pokok dan cabangnya. Karana pada hakikatnya iman itu secara keseluruhan merupakan kesabaran untuk menetapi apa yang dicintai Allah dan diredhai-Nya serta untuk sentiasa mendekatkan diri kepada-Nya, demikian pula harus sabar dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah. Dan juga karana sesungguhnya agama ini berpegang pada tiga pokok utama: [1] membenarkan berita dari Allah dan rasul-Nya, [2] menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya, dan [3] menjauhi larangan-larangan keduanya…” (al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 105-106)

Sabar merupakan akhlak para rasul.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah didustakan rasul-rasul sebelummu maka mereka pun bersabar menghadapi tindakan pendustaan tersebut, dan mereka pun disakiti sampai datanglah kepada mereka pertolongan Kami.” (QS. al-An’am: 34).

Sabar membuahkan kebahagiaan hidup.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3)

Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Kami berhasil memperoleh penghidupan terbaik kami dengan jalan kesabaran.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dengan nada tegas, dimaushulkan oleh Ahmad dalam az-Zuhd dengan sanad sahih, lihat Fath al-Bari [11/342] cet. Dar al-Hadits tahun 1424 H).

Sabar meningkatkan keimanan.

Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan untuknya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar, maka hal itu juga sebuah kebaikan untuknya.” (HR. Muslim [2999] lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [9/241]).

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sabar adalah separuh keimanan.” (HR. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah dan al-Baihaqi dalam az-Zuhd, lihat Fath al-Bari [1/62] dan [11/342]). Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sabar bagi keimanan laksana kepala dalam tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [31079] dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [40], bagian awal atsar ini dilemahkan oleh al-Albani dalam Dha’if al-Jami’ [3535], lihat Shahih wa Dha’if al-Jami’ as-Shaghir [17/121] software Maktabah asy-Syamilah).

Sabar penepis fitnah.

Dari Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Dan sabar itu adalah cahaya -yang panas-…” (HR. Muslim [223], lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim [3/6] cet. Dar Ibn al-Haitsam tahun 2003). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “… Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan bersabar. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka boleh bersabar dan sentiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahawasanya dengan bekal sabar dan keyakinan itulah yang akan dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 3). Saling menasihati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasihati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (dikutip dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir yang disusun oleh Syaikh Ali ash-Shalihi [5/134], lihat juga Ighatsat al-Lahfan hal. 669).

Sabar membuahkan hidayah bagi hati.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (QS. at-Taghabun: 11)

Ibnu Katsir menukil keterangan al-A’masy dari Abu Dhabyan. Abu Dhabyan berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahawasanya musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/391] cet. Dar al-Fikr).

Hikmah dibalik musibah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan kebaikan maka Allah segerakan baginya hukuman di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan untuknya maka Allah akan menahan hukumannya sampai akan disempurnakan balasannya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan gharib, lihat as-Shahihah [1220]).

Di dalam hadits yang agung ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahawa ada kalanya Allah ta’ala memberikan musibah kepada hamba-Nya yang beriman agar dapat membersihkan dirinya dari dosa yang pernah dilakukannya selama hidup. Hal itu supaya nantinya ketika dia berjumpa dengan Allah di akhirat maka beban yang dibawanya semakin bertambah ringan. Demikian pula terkadang Allah memberikan musibah kepada sebagian orang akan tetapi bukan karana rasa cinta dan pemuliaan dari-Nya kepada mereka namun dalam rangka menunda hukuman mereka di alam dunia sehingga nanti pada akhirnya di akhirat mereka akan menyesal dengan tumpukan dosa yang sedemikian besar dan begitu berat beban yang harus dipikulnya ketika menghadap-Nya. Di saat itulah dia akan merasakan bahawa dirinya memang benar-benar layak menerima siksaan Allah. Allah memberikan karunia kepada siapa saja dengan keutamaan-Nya dan Allah juga memberikan hukuman kepada siapa saja dengan penuh keadilan. Allah tidak perlu ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya, namun mereka -para hamba- itulah yang harus dipertanyakan tentang perbuatan dan tingkah polah mereka (diolah dari keterangan Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz al-Qor’awi dalam al-Jadid fi Syarhi Kitab at-Tauhid, hal. 275).

Setelah kita mengetahui betapa indahnya sabar, maka sekarang pertanyaannya adalah: sudahkah kita mewujudkan nilai-nilai kesabaran ini dalam kehidupan kita? Sudahkah kita menjadikan sabar sebagai asas kebahagiaan kita? Sudahkah sabar mewarnai hati, lisan, dan gerak-geri anggota badan kita?.Marilah sama-sama kita hiasi diri kita dengan sikap sabar. Mudah-mudahan dengan mengamalkan dan dengan amalan berterusan kesabaran dalam kehidupan kita ini akan memberikan kekuatan kepada kita dalam meneruskan perjuangan kita ini. Sekian. Salam.

Kesederhanaan

Kesedarhanaan

Pada suatu kesempatan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menunaikan solat Jum’aat di masjid bersama masyarakat dengan baju yang bertampal di sana-sini. Salah seorang jamaah bertanya, ”Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah mengurniakan kepadamu kenikmatan. Mengapa engkau tidak mahu mempergunakannya walau sekadar berpakaian bagus?” Umar bin Abdul Aziz tertunduk sejenak, lalu dia mengangkat kepalanya dan berkata, ”Sesungguhnya berlaku sederhana yang paling baik adalah pada saat kita kaya, dan sebaik-baik pengampunan adalah saat kita berada pada posisi kuat.”

Pada Tahun 1986, sewaktu berada di SMA 13, ada seorang teman sekelas dari kalangan orang berada beberapa kali mengenakan pakaian seragam sekolah dengan satu atau dua tampalan di bahagian bahu dan lengan. Beberapa teman lain, sering mengingatkannya agar mengganti seragamnya dengan yang baru. Tapi, sambil tersenyum, teman itu berkata, ”Tanggung ah, sebentar lagi juga lulus!”

Meskipun mengenakan pakaian bertampal, teman saya ini tidak merasa malu, risih, atau rendah diri. Dan teman-teman yang lain pun tidak memandang rendah atau menganggapnya miskin, karana memang dia bukan orang miskin. Ketika sebahagian besar siswa lainnya berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, atau naik kendaraan umum, Dia datang dengan motorsikal. Pada waktu itu, hanya beberapa siswa saja yang ke sekolah dengan motor. Belum ada yang membawa kereta seperti anak SMA sekarang.

Ceritanya, mungkin, akan lain bila yang mengenakan seragam bertampal itu adalah saya, yang alhamdulillah, berasal dari keluarga sederhana. Barangkali teman-teman lain tidak ada yang berani mengingatkan saya agar membeli seragam baru. Dan mungkin juga teman-teman memaklumi saya, jika waktu itu saya mengenakan seragam bertampal. Dan saya pun, mungkin, akan merasa malu, risih, atau rendah diri.

Maka benarlah, nasihat Khalifah Umar bin Abdul Aziz di atas. Bahawa gaya hidup sederhana yang ditampilkan orang kaya, sedikit pun tidak akan membuatnya rendah atau hina. Orang-orang pun tidak akan mencaciya. Bahkan sebaliknya, boleh jadi orang lain kagum melihat gaya hidup sederhana orang kaya tersebut. Seperti komentar raja Romawi terhadap perilaku sederhana Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Ketika mendengar khabar Umar bin Abdul Aziz wafat, Kaisar Romawi yang paling sengit memusuhi Islam pada waktu itu berkata, ”Aku tidak hairan bila melihat seorang rahib yang menjauhi dunia dan melulu beribadah. Tapi, aku betul-betul hairan ketika melihat seorang raja yang memiliki kekayaan begitu besar, lalu dibuangnya jauh-jauh, sehingga ia hanya berjalan kaki dan lebih memilih kehidupan seperti layaknya fakir miskin.”

Umar bin Abdul Aziz adalah cermin yang tidak pernah pudar. Sejarah hidupnya abadi, dan menjadi inspirasi bagi orang-orang yang sentiasa mendambakan kemudahan ketika dihisab di yaumil akhir kelak. Kedudukan, kekuasaan, dan kekayaan yang ada di tangannya tidak membuat dirinya berpenampilan mewah, meskipun pegawai-pegawai lain yang merupakan orang bawahannya banyak yang berpenampilan mewah. Tidak sedikit pun ada di benak Khalifah Umar bin Abdul Aziz kebimbangan kalau-kalau rakyat, para pegawai, atau kepala negara lain meremehkannya atau menganggapnya hina lantaran berpenampilan sederhana.

Kedudukan dan kekayaan pasti akan memperlambat hisab pada hari dimana semua manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan Pengadilan Allah SWT. Pengadilan Allah SWT. sangat berbeza dengan pengadilan manusia di dunia. Di pengadilan dunia masih sering terjadi bias dan kekeliruan, sehingga seseorang dapat lepas dari jerat hukum. Sementara di pengadilan akhirat, tidak seorang pun yang boleh terlepas dari hukum Allah SWT.

Bukti-bukti yang ditampilkan di pengadilan dunia juga kurang detail dan tidak terperinci, sehingga seseorang dapat berdalih, dan menghilangkan barang bukti. Sebaliknya, di pengadilan akhirat semua perilaku manusia dibentangkan, seperti player VCD yang sedang menampilkan semua rakaman sepak terajang manusia selama hidup di dunia. Kalau di pengadilan dunia, dengan rasuah pesalah boleh terlepas daripada kesalahan, maka di pengadilan akhirat istilah rasuah itu tidak berlaku. Semuanya ditampilkan secara detail dan terperinci.

”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, nescaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, nescaya dia akan melihat (balasan) nya pula” (QS Al-Zalzalah: 7-8).

Pada sebuah pengajian di Pondok Gede, seorang ustaz mengungkapkan kebimbangannya melihat penampilan sebahagian kader dakwah yang mengarah kepada – menurut istilah beliau – gaya hidup Qarunisme. Ustaz tersebut mengungkapkan beberapa gejala tanaafus bii al-maal (berlumba-lumba mengumpulkan harta), seperti semangat memiliki rumah baru, kereta baru yang tidak cuma mempertimbangkan fungsinya, handphone canggih meskipun pemanfaatannya tidak optimal, pakaian berjenama, menginap dari hotel ke hotel, dan lain-lain.

Beberapa di antara mereka, mulai berusaha mendapatkan projek dengan memanfaatkan akses politiknya. Alasan mereka, ”Daripada projek itu diambil oleh para petualang politik, lebih baik projek itu diberikan kepada kader dakwah. Pasti akan lebih bermanfaat.”

Si ustaz pun menambah, sebahagian di antara mereka, terutamanya pihak berkuasa daerah-daerah, ada juga yang menerima suapan yang semestinya ditolak. Mereka beralasan, ”Daripada ditolak dan nantinya digunakan oleh orang lain untuk foya-foya atau hura-hura, lebih baik diterima dan digunakan untuk kepentingan masyarakat atau untuk dakwah. Bahkan ada pemimpin di daerah yang ketika ditegur mengapa menerima suapan, ia menjawab, lupa” Di akhir ceramahnya, sang ustaz mengingatkan kepada para jamaah agar tidak malu hidup dalam kemiskinan atau kesederhanaan. Beliau lalu menerapkan cara hidup sederhana. Sekadar mengingatkan, jikalau dahulu dalam setiap majlis-majlis pertemuan, para ikhwah atau akhawat selalu membawa Al-Qur`an di sakunya. Sekarang Al-Qur`an sering tertinggal di rumah, meski memang dengan perkembangan teknologi, kini Al-Qur`an sudah boleh masuk dalam hand set. Dulu, sebahagian besar ikhwah mahupun akhawat kerap memanfaatkan waktu rehatnya dengan membaca dan menghafal Al-Qur`an. Sekarang sebahagian ikhwah maupun akhawat sering terlihat sibuk menekan-nekan handphone-nya di saat-saat menunggu program bermula bahkan di saat program sedang berlangsung, masih ada yang asyik bermesej. Tulisan ini hanya sekadar untuk mengingatkan tentang fitnah harta, jawatan, dan kekuasaan sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qur`an al-Karim dan Hadits Rasulullah Saw. Harta, jawatan, dan kekuasaan itu pasti akan menyibukkan seseorang dan memenuhi waktu dan fikirannya, sehingga akan mengurangi kekhusyu’an dalam beribadah kepada Allah SWT.

Alternatif Solusi Ibnu Qayim Rahimahullah dalam kitabnya ”Al-Fawaid” menjelaskan tentang liku-liku kehidupan dunia. Beliau menjelaskan bahawa setiap perbuatan manusia, selalu dimulai oleh lintasan-lintasan (khawatir) atau kebimbangan. Faktor inilah yang mengundang munculnya tashawur (gambaran). Dari sini kemudian muncul iradah (kemahuan) yang selanjutnya mendorong berlakunya perbuatan (’amal). Apabila perbuatan itu terjadi berulang kali, maka ia akan menjadi kebiasaan.

Oleh karena itu, Ibnu Qayim menegaskan, ”Lawanlah setiap lintasan buruk. Karana jika dibiarkan, ia akan berubah menjadi fikrah buruk. Singkirkanlah fikrah buruk itu, karana jika dibiarkan, ia akan berubah menjadi iradah atau ’azimah (tekad) yang buruk. Perangilah tekad yang buruk itu, karana kalau dibiarkan, ia akan berubah menjadi perbuatan buruk. Dan jika perbuatan buruk itu tidak dilawan, bahkan dilakukan secara berulang-ulang, maka ia akan berubah menjadi kebiasaan buruk. Bila perbuatan buruk itu sudah menjadi kebiasaan, maka kita akan sulit untuk meninggalkannya.”

Setiap tahap dalam perbuatan, iaitu khawatir-tashawur-iradah-’amal tidak akan meningkat ke tahap berikutnya sebelum mencapai kestabilan. Misalnya, khawatir tidak akan berubah menjadi tashawur sebelum khawatir itu mencapai kestabilan dan kematangan. Ketika seseorang berada pada level kestabilan dan kematangan baru, umumnya mereka tidak merasakan adanya perubahan yang signifikan pada dirinya. Ertinya, perubahan perilaku atau gaya hidup yang terjadi pada seseorang seringkali tidak atau kurang dirasakan oleh dirinya, akan tetapi orang lain melihat perubahan itu secara perlahan-lahan.

Oleh sebab itu, Khalifah Umar bin Khathtab keliling kampung untuk melihat secara langsung kehidupan rakyatnya. Tidak kurang pentingnya kepada para kader dakwah yang saat ini mendapatkan amanah dakwah di lingkungan elit untuk mencari ilmu tentang kader-kader dakwah. Atau sering bertanya kepada guru-guru yang mursyid supaya ditunjukan jalan yang sebenarnya. Mudah-mudahan kita tidak sombong dan bongkak setelah dikurniakan ilmu, harta, pangkat dan sebagainya. Semoga Allah kurniakan keredhaanNya kepada kita semua. Amin. Wallahu a’lam bishshawab.

7 Golongan Yang Akan Mendapat Lindungan Arasynya Pada Hari Akhirat.

7 Golongan Yang Akan Mendapat Lindungan Arasynya Pada Hari Akhirat.

Abu Hurairah ra telah meriwayatkan bahawa Rasulullah saw telah bersabda:

” Terdapat 7 golongan yang akan mendapat lindungan arasyNya pada hari yang tiada lindungan melainkan lindungan daripadaNya. Pemimpin yand adil; pemuda yang masanya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah SWT; seseorang yang hatinya terpaut pada masjid; 2 lelaki yang berkasih sayang dan bertemu dan berpisah kerana Allah SWT; lelaki yang digoda oleh perempuan cantik dan berpengaruh untuk melakukan maksiat tetapi dia menolak dengan mengatakan Aku Takutkan Allah; seseorang yang bersedekah dan menyembunyikannya sehinggakan tangan kanannya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kirinya; dan seseorang yang mengingati Allah ketika bersendirian sehinggakan mengalir air matanya kerana Allah SWT.” Riwayat Muslim

1. Pemimpin (Imam) Yang Adil.

Setiap yang dipertanggungjawabkan akan dipersoalkan kembali kelak. Maka bergembiralah kepada mana-mana peminpin yang dapaat berlaku adil. Pemimpin di sini termasuklah seorang suami yang memimpin isteri dan anak-anak. Seorang isteri yang memimpin anak-anaknya dan sebagainya.

2. Pemuda Yang Membesar Dalam Ibadah Kepada Allah.

Naungan Ilahi ini juga dijanjikan kepada lelaki dan perempuan yang sentiasa hidup dalam ibadah kepada Allah. Sentiasa menyedari bahawa Allah melihat segala perbuatannya. Di mana segalanya di bawah kawalan dan naungan Ilahi.

3. Lelaki Yang Hatinya Sentiasa Rindukan (Teringat-Ingatkan) Rumah Allah.

Begitu jua bagi lelaki yang hatinya sentiasa rindukan rumah Allah. Tertunggu-tunggu setiap masa untuk beribadah di dalamnya. Baik untuk sembahyang wajib lima waktu setiap hari dan untuk ibadah lain.

4. Dua Orang Lelaki Yang Cinta Mencintai Kerana Allah Bertemu Dan Berpisah Kerana Allah.

Dalam satu hadis Rasulullah bersabda: “Allah telah mengutuskan malaikat kepada seorang lelaki semasa dalam perjalanan untuk menziarahi saudaranya kerana Allah”. Lalu malaikat bertanya: “Nak kemana?” Dijawab: “Aku mahu menziarah saudara ku… … ..” Tanya malaikat lagi: Untuk apa?” lelaki itu menjawab: Tiada apa-apa tujuan.” Ditanya lagi: “Apa hubungan dengan kamu?” Lalu dijawab oleh lelaki itu:” Tiada apa-apa hubungan.” Ditanya lagi: ” Apa budinya kepada kamu?” Dijawab:”Tiada apa-apa pun.” Ditanya lagi:” Apa tujuannya?” Lelaki itu menjawab: ” Aku mencintainya kerana Allah.” Berkata malaikat: sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada mu untuk memberitahu bahawa kerana kecintaanmu kepadanya maka Allah telah mengizinkan kamu memasuki syurgaNya.” (Riwayat Muslim). Perasaan sayang dan kasih terhadap orang lain bukan kerana ada tujuan lain. Bukan untuk memikat anak gadisnya atau hartanya, sebaliknya hanya mengharap keredhaan Ilahi. Hanya kerana Allah hubungan ini dieratkan.

5. Lelaki Apabila Mengingati Allah Bersendirian Menitis Airmatanya.

Hadirnya perasaan takut kepada Allah walaupun bersendirian sehingga menitis airmatanya. Ianya bukan saja-saja tetapi hadir dari hati yang menginsafi kebesaran Allah.

6. Seorang Lelaki Yang Dirangsang Oleh Seorang Perempuan Berdarjat Lagi Cantik Untuk Berzina, Lalu Ia Berkata: “Tidak! Aku Takutkan Allah” (Inni Akhofullah)

Sesiapa yang takut untuk berbuat kesalahan, takut kepada Allah dan azab api neraka akan sentiasa mendapat perlindungan dari-Nya.

7. Lelaki Yang Bersedekah Dan Tidak Pula Dimegah-Megahkannya.

Pemberian yang mengharapkan balasan dari Ilahi tidak akan diperbesar-besarkan. sebaliknya akan dilakukan secara tersembunyi. Sehingga digambarkan seolah-olah tangan yang kiri tidak mengetahuinya apa yang disedekahkan oleh tangan kanan. Lupakan kebaikan dan pemberian kita, sebaliknya banyak mengingatkan kesilapan dan kesalah diri kita terhadap Allah dan orang lain. Rebutlah peluang ini, jadilah orang yang beruntung di akhirat. Tiada yang mustahil untuk kita lakukan. Jadilah hambaNya yang ikhlas dan redha atas segala yang berlaku. Semoga kita semua tergolong dalam golongan orang yang mendapat perlindunganNya selalu.

Sunday, June 27, 2010

Kepimpinan satu amanah

Kepimpinan yang unggul dan berintegriti merupakan asas kepada kualiti dan kecemerlangan dalam sesebuah organisasi. Kepakaran dan kemahiran dalam kepimpinan serta perwatakan peribadi boleh mempengaruhi corak kepimpinan dan menentukan jatuh bangunnya sesebuah negara. Keluhuran dan keperibadian itu juga dapat mencerminkan sikap dan perwatakan masyarakat atau rakyat yang dipimpinnya.

Islam amat menitikberatkan aspek kepimpinan yang memiliki kualiti nilai insan yang hebat dan boleh menjadi contoh kepada seluruh masyarakat di dunia ini. Sesungguhnya umat Islam amat beruntung kerana kita mempunyai seorang tokoh yang boleh dijadikan panduan dalam merealisasikan asas kepimpinan ini iaitu baginda Rasulullah SAW. Baginda adalah contoh yang dikagumi bukan sahaja oleh Umat Islam malah disanjungi oleh ramai cendekiawan Barat kerana mempunyai kebolehan dalam memimpin sebuah negara dan bertanggungjawab penuh ke atas perlaksanaannya. Beliau memikul tanggungjawab dengan penuh amanah selari dengan kehendak Allah SWT sehingga masyarakat Arab menggelarnya al-Amin. Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:

" Ingatlah bahawa setiap daripada kamu adalah penjaga dan setiap penjaga bertanggungjawab terhadap apa yang dijaganya. Dan seorang pemimpin itu bertanggungjawab terhadap orang yang dipimpinnya”(Riwayat al-Bukhari)

Kepimpinan amatlah penting bagi membentuk kehidupan yang sempurna. Maka lantaran itulah Allah SWT mengutus para rasul-Nya untuk mempimpin umat-umat terdahulu untuk menjadi manusia yang memiliki sifat-sifat yang menepati dengan kehendak Allah SWT. Allah SWT mengutuskan para rasul-Nya untuk menjadi pemimpin kerana ciri-ciri kepimpinan yang ada pada mereka boleh digunakan oleh pemimpin-pemimpin lain di sepanjang zaman.

Mempimpin sesebuah negara adalah suatu amanah yang diberikan oleh Allah SWT dan mereka yang diberi tanggungjawab ini perlu tunduk dan patuh sepenuhnya kepada Allah SWT. Firman Allah SWT dalam surah Al-Ahzab ayat 72 :

" Sesungguhnya kami telah kemukakan tanggungjawab amanah (Kami) kepada langit dan bumi serta gunung ganang (untuk memikulnya), maka mereka enggan memikulnya dan bimbang tidak dapat menyempurnakannya (kerana tidak ada pada mereka persediaan untuk memikulnya); dan ( pada ketika itu) manusia (dengan persediaan yang ada padanya) sanggup memikulnya. (Ingatlah) sesungguhnya tabiat kebanyakan manusia adalah suka melakukan kezaliman dan suka pula membuat perkara-perkara yang tidak patut dikerjakan."

Memimpin golongan masyarakat pula adalah tanggungjawab bagi memenuhi keperluan mereka samada dari segi jasmani iaitu hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, kebajikan, kesihatan, ekonomi dan pengurusan dan dari segi rohani iaitu hal yang berkaitan dengan akidah, syariah, akhlak dan kemanusiaan.

Sehubungan dengan itu, Islam amat menekankan kepimpinan yang cemerlang, berkualiti dan terbukti unggulnya. Kepimpinan itu semestinya didokong oleh keimanan kepada Allah SWT, cinta dan menghayati sunnah Rasulullah SAW serta berakhlak mulia di mana ianya mampu mengadakan hubungan yang harmoni dengan semua peringkat masyarakat. Ciri-ciri kepimpinan ini akan memberi kesan kepada masyarakat, mereka akan menghormati dan menyanjungi corak kepimpinan yang diberikan.

Di samping itu, kebijaksanaan dalam kepimpinan juga merupakan aset penting dalam pembangunan sesebuah organisasi. Antara kebijaksanaan yang dimaksudkan itu ialah kemampuan diri mengawal emosi pada semua situasi dengan tenang dan terkawal.

Kita melihat kepimpinan Khalifah Umar al- Khattab RA yang boleh dijadikan contoh kerana beliau adalah seorang pemimpin yang sangat disayangi oleh rakyatnya di atas perhatian dan tanggungjawabnya yang luar biasa terhadap rakyat. Ada suatu peristiwa di mana serombongan kafilah yang dalam perjalanan pulang ingin bermalam di pinggir kota Madinah dengan membawa barang dagangan yang banyak. Atas keperihatinan Khalifah Umar al- Khattab RA, beliau mengajak hartawan Abdul Rahman bin Auf untuk mengawal dan menjaga keselamatan barang dagangan rombongan kafilah tersebut daripada gangguan pencuri.

Saturday, June 26, 2010

13 wasiat Rasulullah kepada Saiyidina Ali

Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahawa Ali Abi Talib berkata:"Pada hari perkahwinanku dengan Fatimah, Rasulullah SAW bersabda kepadaku, mengutarakan tiga belas wasiat khusus untukku."

1. Hai Ali, takutilah engkau daripada memasukki tempat mandi (hammam) tanpa memakai kain separas pinggang. Bahawasanya barangsiapa memasuki tempat mandi tanpa kain separas pinggang, maka dia dapat laknat (mal''un).

2. Hai Ali, janganlah engkau ''memakai cincin di jari telunjuk dan di jari tengah.'' Sesungguhnya itu adalah apa yang dilakukan oleh kaum Lut.

3. Hai Ali, sesungguhnya Allah mengkagumi hamba-Nya yang melafazkan istighfar: "Rabighfirli fainnahu la yaghfirul-zunuba illa anta" (Tuhanku, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampunkan dosa melainkan Engkau). Allah lalu berfirman, "Hai Malaikat-Ku, sesungguhnya hamba-Ku ini mengetahui bahawasanya tiada yang mengampunkan dosa melainkan Aku. Hai malaikat-Ku, jadilah saksi bahawasanya Aku telah mengampuni dia."

4. Hai Ali, takutilah engkau daripada berdusta. Bahawasanya berdusta itu menghitamkan muka dan disuratkan oleh Allah sebagai kazzab (pendusta). Dan, bahawasanya benar itu memutihkan muka dan disuratkan oleh Allah sebagai sadiq. Ketahuilah engkau, bahawasanya sidq (benar) itu berkat dan kizb (dusta) itu celaka.

5. Hai Ali, peliharalah diri engkau daripada mengumpat dan mengadu-dumba. Bahawasanya orang berbuat demikian itu diwajibkan keatasnya siksaan kubur dan menjadi penghalang kepadanya dipintu syurga.

6. Hai Ali, janganlah engkau bersumpah dengan nama Allah, samada dusta atau benar, kecuali dalam keadaan dharurat, dan janganlah jadikan Allah permainan sumpah engkau. Sesungguhnya Allah tidak mensucikan dan tidak mengasihani orang yang bersumpah dusta dengan nama-Nya.

7. Hai Ali, janganlah engkau mencita-citakan rezeki untuk hari esok. Bahawasanya Allah Taala mendatangkan rezeki engkau setiap hari.

8. Hai Ali. Takutilah engkau daripada berbantah-bantah dan berkelahi dengan maki-hamun dan sumpah seranah. Bahawasanya perbuatan itu pada awalnya jahil dan pada akhirnya penyesalan.

9. Hai Ali, sentiasalah engkau bersugi dan mencolek gigi. Bahawasanya bersugi itu mensucikan mulut, mencerahkan mata dan diredhai Allah, manakala mencolek gigi itu dikasihi malaikat kerana malaikat amat tidak senang dengan bau mulut kerana sisa-sisa makanan dicelah gigi tidak dicolek selepas makan.

10. Hai Ali, janganlah engkau melayani rasa marah. Apabila timbul rasa marah, duduklah engkau dan fikirkanlah mengenai kekuasaan dan kesabaran Allah Taala ke atas hamba-Nya. Pertahankanlah diri engkau dapada dikuasai oleh kemarahan dan kembalilah engkau kepada kesabaran.

11. Hai Ali, perhitungkanlah (tahassub) kurniaan Allah yang telah engkau nafkahkan untuk diri engkau dan keluarga engkau, nescaya engkau perolehi peruntukan daripada Allah.

12. Hai Ali, apa yang engkau benci pada diri engkau, maka engkau benci juga pada diri saudara engkau dan apa yang engkau kasih pada diri engkau maka engkau kasihkan juga pada diri saudara engkau, yakni engkau hendaklah berlaku adil dalam memberi hukum. Dengan itu, engkau dikasihi seluruh isi langit dan bumi.

13. Hai Ali, perbaikkanlah perhubungan di antara penduduk (jiran) sekampung dan antara ahli rumahmu. Hiduplah dengan mereka sekaliannya dengan rasa persahabatan dan kekeluargaan, nescaya disuratkan darjat yang tinggi bagi engkau.

*Hai Ali, peliharakanlah pesananku (wasiatku). Engkau akan perolehi kemenangan dan kelepasan, insya''Allah.

Walaupun wasiat ini ditujukan khusus untuk oleh Rasulullah SAW untuk menantu baginda, Saiyidina Ali Bin Abi Talib KAW, namun kita juga sebagai muslimin dan muslimat, perlu menjadikannya sebagai iktibar dan amalan. Segala larangan dan suruhan Rasulullah SAW melalui wasiat ini adalah untuk seluruh muslimin dan muslimat. Tidak dinafikan bahawa kesemua tiga belas perkara dalam wasiat ini adalah sebahagian daripada ciri-ciri utama seorang mukminin dan mukminat.

Jika kita lihat kepada pemakaian cincin seolah-olah nampak perkara remeh begitu juga menutup aurat sewaktu mandi. Sebenarnya suruhan dan larangan itu mengandungi hikmah yang tersendiri yang antaranya sukar diselami dan difahami. Pemakaian cincin di jari telunjuk dan jari tengah ibarat satu kiasan Rasulullah kepada amalan liwat yang dilakukan oleh kaum Mal''un di zaman Nabi Lut as.

Begitu juga sewaktu di bilik mandi, banyak orang mengatakan kita tidak perlu berkain basahan lagi kerana tidak ada sesiapa yang melihat. Tanggapan ini adalah salah kerana masih ada yang melihat kita. Wasiat Rasulullah SAW itu untuk mengingatkan kita walaupun kita bersendirian dan terlepas daripada pemerhatian manusia, sebenarnya kita tidak terlepas daripada perhatian Allah, malah kita sebenarnya ada bersama dengan malaikat, syaitan dan iblis.

Jikalau kita rujuk kepada wasiat larangan berdusta dan bersumpah dengan nama Allah di mana kita lihat dewasa ini sewenang-wenangnya digunakan seolah-olah ianya sesuatu yang tidak ada makna, sedangkan suruhan dan larangan Allah tidak dipedulikan langsung.

Lazimkan bagi lidah kita beristighfar semoga kita tergolong dalam golongan hamba Allah yang beruntung. Semoga wasiat ini menjadi panduan kita bersama.

Friday, June 25, 2010

Pembentukan Rumahtangga serta Adat-adat Yang Bercanggah..

"Sebagai seorang gadis apabila mula memikirkan alam dewasa dan ingin menggantungkan nasib dirinya kepada lelaki melalui rumahtangga,hendaklah membuat pemilihan teliti, seeloknya pilihlah lelaki;


1. Yang berkemampuan sebagaimana hadis Nabi Riwayat Ahmad Bukhari dan

Muslim dari Abu Hurairah yang bermaksud:

"Wahai pemuda-pemuda; barang siapa diantara kamu bernikah, maka hendaklah ia bernikah, yang demikian itu amat menundukkan pandangan dan amat memelihara kehormatan, tetapi barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa kerana puasa itu menahan nafsu."


* Mampu yang dimaksudkan, berupaya menyediakan tempat tinggal, saraan hidup yang biasa mengikut suasana sekarang, serta pakaian untuk menutup aurat.

* Perkara-perkara ini wajib dilaksanakan suami dan kegagalan menyempurnakannya boleh mendatangkan kesan buruk dan mudah berlaku perceraian.


2. Boleh dijadikan sebagai ganti ayah bonda.

* Sanggup melindungi wanita daripada segala bahaya dan kecelakaan yang menimpa kerana apabila seorang wanita rela dinikahi, bererti ia rela melepaskan dirinya daripada ayah bonda yang selama ini menjadi tempat pergantungan hidup.

* Kini berpindah kepada lelaki yang bakal menjadi suaminya.


3. Pandai menjaga darjat diri; apabila bercakap dikota dan diamalkan.

* Selain daripada itu suami yang baik akan sentiasa mengajak isteri ke arah kebaikan, menjauhkan yang mungkar dan mendahului perbuatan itu. ** begitu juga isteri yang baik... seringkali la mengajak suami kearah kebaikan dan sering mengingatkan...kerna ada ketika suami2 ini terlalai ..


4. Berkebolehan didalam urusan rumahtangga.

* Kebolehan memasak, menjahit juga membasuh akan membantu kerana lelaki yang biasa membuat kerja begini, tidak akan membebankan isterinya membuat kerja rumah sekiranya isteri tiada kemampuan.

* Ramai yang berkata kerja ini sepatutnya diatas bahu isteri... dan tidak patut sama sekali dibuat oleh suami..

* but then...sekiranya isteri2 ini senantiasa mengingatkan diri bahawa segala kerja2 dibuat utk mendapatkankeredhaan allah.. maka buatlah seikhlasnya..dan jangan sekali2 mengungkit setiap apa yang telah dilakukan olehnya ....


5. Mempunyai penuh kepercayaan kepada perempuan dan tidak mudah bersangka buruk.

* Biasanya apabila suami bertugas mencari nafkah maka isteri akan menjaga segala amanah harta dan anak di rumah.

* Sekiranya suami tidak mempunyai kepercayaan kepada isteri, ini bererti suami akan sentiasa menyangka buruk.

* begitu juga isteri.. jangan menaruh sebarang syak wasangka yang buruk terhadap suami... kerana syaitan itu amat mengemari dan senantiasa menghampirkan diri kepada mereka yang berada didalam keadaan syak wasangka utk menjayakan niat jahatnya..


6. Rajin, berpemikiran luas dan tidak memakan harta perempuan.

§ Lelaki begini adalah ciri-ciri lelaki yang tidak pemalas, inginkan kemajuan serta tidak mengharapkan titik peluh isteri.

§ Allah sangat tidak menyukai manusia yang hanya bertawakal dan menyerah diri tanpa usaha sedangkan kejayaan dicapai melalui usaha.


7. Mudah memaafkan.

* Sifat ini adalah sebahagian daripada sifat terpuji Rasullah ketika menegakkan agama Islam. Oleh itu suami bertanggungjawab sepenuhnya kepada isteri dan anak.


8. Datang daripada keturunan orang yang baik-baik lagi rajin beribadah.

* Seelok-eloknya, mempunyai akhlak dan budi bahasa mulia, berpegangan agama lagi rajin beribadah dan tidak berpenyakit keturunan seperti gila atau penyakit merbahaya yang boleh membawa kepada kesengsaraan hidup.

* Oleh itu buatlah pilihan dengan tepat dan seadil-adilnya kerana ianya akan menjamin masa hadapan yang bahagia.....

Wallahua'lam.